AKAD
Disusun
guna memenuhi tugas :
Mata
Kuliah : Fiqh Muamalah
Dosen
Pengampu : Jumaelah, S.H.I, M.S.I
Disusun oleh kelompok II :
1.
WIWIK SAPUTRO (2011113023)
2.
AHMAD ABDURROHIM (2011113019)
3.
SYAEFULLOH (2011113059)
KELAS A
AHWAL
SYAKHSYIAH
SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN)
PEKALONGAN
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
..................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN
.......................................................................2
A. Latar
Belakang .....................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
......................................................................3
A.
Pengertian Akad
...................................................................3
B.
Rukun-Rukun Akad ...............................................................4
C
. Syarat-Syarat Akad ..............................................................6
D
. Macam-Macam Akad ..........................................................6
E
. Berakhirnya Akad ................................................................8
F
. Hikmah Akad .......................................................................8
BAB III PENUTUP
.................................................................................9
Kesimpulan
..............................................................................9
Daftar
Pustaka .........................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan dari
orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam,
sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus
berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain
dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban
keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam
kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad
atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakan sesuatu yang sudah ditakdirkan
oleh Allah karena itu merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal
arti hak milik. Islam memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan bertransaksi sangat
beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Oleh
karena itu, makalah ini disusun untuk membahas mengenai berbagai hal yang
terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita
sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
Kata akad berasal bahasa Arab
al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, persetujuan dan permufakatan. Kata ini
juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang
yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ).
Secara
istilah fiqh, akad didefinisikan dengan : Pertalian ijab(pernyataan melakukan
ikatan) dan kabul(peryataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat
yang berpengaruh kepada objek perikatan. Pencantuman kata-kata yang “sesuai
dengan kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh
dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak
syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang
lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman kata-kata
“berpengaruh kepada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan
pemilikan dari satu pihak(yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang
menyatakan kabul).[1]
Hasbi Ash Shiddieqy, yang mengutip
definisi yang dikemukakan Al-Sanhury, akad ialah: “ perikatan ijab kabul yang
dibenarkan syara’ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak”.
Adapula yang mendefinisikan, akad ialah:
“Ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak.”.[2]
Dapat
disimpulkan Akad ialah pertalaian ijab (ungkapan tawaran disatu pihak yang
mengadakan kontrak) dengan kabul (ungkapan penerimaan oleh pihak lain) yang
memberikan pengaruh pada suatu kontrak.
Dasar
hukum dilakukannya akad dalam Al-Qur’an adalah Surat Al-Maidah ayat yang artinya
: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu "
Berdasarkan
ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan isi perjanjian atau akad itu
hukumnya wajib.
B. Rukun-Rukun akad
Rukun-Rukun Akad sebagai berikut:
1. ‘Aqid, adalah orang yang berakad (subjek
akad); terkadang masing-masing pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang
terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar
biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris sepakat untuk memberikan
sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang.
2. Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda yang
akan diakadkan (objek akad), seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual
beli, dalam akad hibah atau pemberian, gadai, dan utang.
Ma’qud
‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
a) Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak
sedang dilakukan.
b) Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang
diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
c) Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya
akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
d) Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
e) Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan
bukan barang najis.
3. Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau
maksud mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam
akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual
kepada pembeli dengan di beri ganti.
4. Shighat al-‘aqd, yaitu ijab kabul. Ijab
adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang
akan melakukan akad, sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk
menerimanya. Pengertian ijab kabul dalam pengalaman dewasa ini ialah
bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli
sesuatu terkadang tidak berhadapan atau ungkapan yang menunjukan kesepakatan
dua pihak yang melakukan akad, misalnya yang berlangganan majalah, pembeli
mengirim uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari
kantor pos.[3]
Dalam ijab kabul terdapat beberapa
syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut:
a. Adanya kejelasan maksud antara kedua
belah pihak.
b. Adanya kesesuaian antara ijab dan kabul
c. Adanya satu majlis akad dan adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukan penolakan dan pembatalan
dari keduanya.
d. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari
pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena di ancam atau
ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling
merelakan.
Ijab kabul
akan dinyatakan batal apabila :
a. Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat
kabul dari si pembeli.
b. Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada
kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan kabul
dianggap batal.
d. Kedua pihak atau salah satu, hilang kesepakatannya
sebelum terjadi kesepakatan.
e. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya kabul atau
kesepakatan.
Mengucapkan dengan lidah merupakan salah
satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang
dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama fiqh menerangkan
beberapa cara yang ditempuh dalam akad,[4]
yaitu
1) Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya
dua ‘aqid berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan kitabah. Atas dasar
inilah para ulama membuat kaidah: “Tulisan itu sama dengan ucapan”.
2) Isyarat. Bagi orang-orang tertentu akad
tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan atau tulisan, misalnya seseorang yang
bisu tidak dapat mengadakan ijab kabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai
tulis baca tidak mampu mengadakan ijab kabul dengan tulisan. Maka orang yang
bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan
dan tulisan. Dengan demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka
dibuatkan kaidah sebagai berikut: “Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan
lidah”.
C. Syarat-Syarat Akad
Syarat-Syarat Akad sebagai berikut:
1) Kedua orang yang melakukan akad cakap
bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti
orang gila, orang yang berada di pengampuan , dan karena boros.
2) Yang di jadikan objek akad dapat
menerima hukumnya.
3) Akad itu diizinkan oleh syara’,
dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan ‘aqid
yang memiliki barang.
4) Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’ , seperti
jual beli mulasamah.
Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap
sebagai imbalan amanah (kepercayaan).
5) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut
sebelum terjadi kabul. Maka apabila orang berijab menarik kembali ijabnya
sebelum kabul maka batallah ijabnya.
6) Ijab dan kabul mesti bersambung,
sehingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka
ijab tersebut menjadi batal.[5]
D. Macam-Macam Akad
Para
ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dan dilihat dari beberapa
segi. Jika dilihat dari keabsahannya menurut syara’, akad di bagi menjadi dua[6],
yaitu:
1. Akad Shahih, adalah akad yang telah
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah
berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat pada
pihak-pihak yang berakad.
2. Akad yang tidak Shahih, adalah akad yang
terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehinga seluruh akibat
hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.
Akad
Shahih di bagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam,
yaitu:
a) Akad yang nafiz (sempurna untuk
dilaksanakan), adalah akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan
syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b) Akad mawquf, adalah akad yang dilakukan
seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang dilangsungkan oleh
anak kecil yang mumayiz.[7]
Jika
dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya jual beli yang sahih itu, para ulama
fiqh membaginya kepada dua macam, yaitu:
1. Akad yang bersifat mengikat bagi
pihak-pihak yang berakad, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan
akad itu tanpa seizin pihak lain, seperti akad jual beli dan sewa-menyewa.
2. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi
pihak-pihak yang berakad, seperti akad al-wakalah(perwakilan),
al-ariyah(pinjam-meminjam), dan al-wadhi’ah (barang titipan).
Akad
yang tidak Shahih di bagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua
macam, yaitu:
a) Akad batil ialah akad yang tidak
memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’. Misalnya,
objek jual beli itu tidak jelas. Atau terdapat unsaur tipuan, seperti menjual
ikan dalam lautan, atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak
hukum.
b) Akad fasid ialah akad yang pada dasarnya
disyariatkan, akan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya,
menjual rumah atau kendaraan yang tidak ditunjukkan tipe, jenis, dan bentuk
rumah yang akan dijual, atau tidak disebut brand kendaraan yang dijual,
sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli.
Ulama
fiqh menyatakan bahwa akad batil dan akad fasid mengandung esensi yang sama,
yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan hukum apapun.
E. Berakhirnya Akad[8]
1. Berakhirnya masa berlaku akad itu,
apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang
berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3. Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu
akad dapat dianggap berakhir jika:
a) Jual beli itu fasad, seperti terdapat
unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.
b) Berlakunya khiyar syarat, aib, atau
rukyat.
c) Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah
satu pihak
d) Tercapainya tujuan akad itu sampai
sempurna.
4. Salah satu pihak yang berakad meninggal
dunia.
F. Hikmah Akad
Diadakannya akad dalam muamalah
antarsesama manusia tentu mempunyai hikmah, antara lain:[9]
1. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang
atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
2. Tidak dapat sembarangan dalam
membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
3. Akad merupakan ”payung hukum” di dalam
kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau
memilikinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Akad
ialah pertalaian ijab (ungkapan tawaran disatu pihak yang mengadakan kontrak)
dengan kabul (ungkapan penerimaan oleh pihak lain) yang memberikan pengaruh
pada suatu kontrak.
Rukun-Rukun
Akad sebagai berikut:
1. ‘Aqid, adalah orang yang berakad (subjek
akad); terkadang masing-masing pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang
terdiri dari beberapa orang.
2. Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda yang
akan diakadkan (objek akad).
3. Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau
maksud mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad.
4. Shighat al-‘aqd, yaitu ijab kabul. Ijab
adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang
akan melakukan akad, sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk
menerimanya. Pengertian ijab kabul dalam pengalaman dewasa ini ialah
bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli
sesuatu terkadang tidak berhadapan atau ungkapan yang menunjukan kesepakatan
dua pihak yang melakukan akad.
Syarat-Syarat
Akad sebagai berikut:
1) Kedua orang yang melakukan akad cakap
bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti
orang gila, orang yang berada di pengampuan , dan karena boros.
2) Yang di jadikan objek akad dapat
menerima hukumnya.
3) Akad itu diizinkan oleh syara’,
dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan ‘aqid
yang memiliki barang.
4) Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’ , seperti
jual beli mulasamah (saling merasakan).
5) Akad dapat memberikan faedah, sehingga
tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai imbalan amanah (kepercayaan).
6) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut
sebelum terjadi kabul. Maka apabila orang berijab menarik kembali ijabnya
sebelum kabul maka batallah ijabnya.
7) Ijab dan kabul mesti bersambung,
sehingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka
ijab tersebut menjadi batal.
Macam-Macam
Akad
1. Akad Shahih, adalah akad yang telah
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah
berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat pada
pihak-pihak yang berakad.
2. Akad yang tidak Shahih, adalah akad yang
terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehinga seluruh akibat
hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.
Berakhirnya
Akad
1. Berakhirnya masa berlaku akad itu,
apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang
berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3. Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu
akad dapat dianggap berakhir jika:
e) Jual beli itu fasad, seperti terdapat
unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.
f) Berlakunya khiyar syarat, aib, atau
rukyat.
g) Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah
satu pihak
h) Tercapainya tujuan akad itu sampai
sempurna.
4. Salah satu pihak yang berakad meninggal
dunia.
Hikmah
Akad
1. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang
atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
2. Tidak dapat sembarangan dalam
membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
3. Akad merupakan ”payung hukum” di dalam
kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Azzam,
Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Djuwaini,
Dimyauddin. 2010. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ghazaly,
Abdul Rahman, et. al. 2010. Fiqh Muamalat.
Jakarta: Kencana.
Kholisoh,
Siti dan Yadi Setiadi http://chezam.wordpress.com/2009/10/14/makalah-tentang-akad/(di
akses pada 19 Februari 2014).
Shiddieqy,
Hasbi Ash. 1997. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta:
Bulan Bintang.
[1] Abdul Rahman Ghazaly, et.al, Fiqh
Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 51.
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh
Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 15.
[3] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar
Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Kencana:2010), hlm.51.
[5]Abdul Rahman Ghazaly, et.al, op.cit., hlm. 55.
[6] Ibid, hlm. 55-56.
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam, op.cit.,
hlm. 20.
[8] Abdul Rahman Ghazaly, et.al, op.cit., hlm. 58-59.
[9] Ibid, hlm. 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar