Sabtu, 05 April 2014

Perang Salib



BAB II
PEMBAHASAN

1        . PERANG SALIB

A.    Timbulnya Perang Salib.
Perang Salib awalnya disebabkan adanya persaingan pengaruh antara Islam dan Kristen. Penguasa Islam Alp Arselan yang memimpin gerakan ekspansi yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Manzikarat” pada tahun 464 H (1071 M) Menjadikan orang-orang Romawi terdesak. Terntara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang yang terdiri tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Prancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk dapat merebut Baitul Maqdis tahun 471 H dari kekuasaan Dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Saljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan ini dirasakan sangat menyulitkan mereka.[1]
Oleh karena itu, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa agar melekukan perang suci. Perang ini kemudian di kenal dengan nama Perang Salib karena pasukan Kristen dalam berperang mengenakan tanda Salib pada pakain yang dikenakannya sebagai lambang.[2]

B.     Sebab-Sebab Perang Salib[3]
Ada beberapa faktor yang memicu terjadin Perang Salib. Adapun yang menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya Perang Salib ada tiga hal, yakni agama, politik, dan sosial ekonomi.
1.      Faktor agama
Sejak Dinasti Saljuk merebut Baitul Maqdis dari tangan Dinasti Fathimiyah pada tahun 1070 M, pihak Kristen merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah ke sana karena penguasa Saljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulitkan mereka yang hendak melaksanakan ibadah ke Baitul Maqdis. Bahkan mereka yang pulang berziarah sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang Saljuk yang fanatik. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Saljuk sangat berbeda dari penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu sebelumnya.
2.      Faktor Politik
Kekalahan Binzantium sejak tahun 330 M disebut Konstantinopel (Istambul) di Manzikart, wilayah Armenia, pada tahun 1071 M dan jatuhnya Asia Kecil ke bawah kekuasan Saljuk telah mendorong Kaisar Alexius I Comnenus ( Kaisar Konstantinopel) untuk meminta bantuan Paus Urbanus II (1035-1099) yang menjadi Paus antara tahun 1088-1099 M, dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannnya di daerah pendudukan Dinasti Saljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu Bizantium karena adanya janji Kaisar Alexius untuk di bawah kekuasaan Paus di Roma dan harapan untuk dapat mempersatukan  gereja Yunani dan Roma.
Di lain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang melemah sehingga orang Kristen di Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam Perang Salib, Ketika itu Dinasti Saljuk di Asia Kecil sedang mengalami perpecahan, dan Dinasti Fathimiyah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara keadaan Islam di Spanyol semakin goyah. Situasi semakin bertambah parah karena adanya pertentangan segitiga antara Khalifa Fathimiyah di Mesir, Khalifa Abbasiyah di Bagdad, dan Amir Umayyah di Cordova yang memproklamasikan dirinya sebagai Khalifa. Situasi yang demikian mendorong para penguasa Kristen di Eropa untuk merebut satu persatu daerah kekuasaan Islam, seperti dinasti kecil di Edessa dan Baitul Maqdis.
3.      Faktor Sosial Ekonomi
Para pedagang besar yang berada di kota Venesia, Genoa, dan Pisa, berambisi untuk mengasai sejumlah kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang. Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu di mungkinkan karena jalur Eropa akan tersambung dengan rute perdagangan di Timur melaui jalur strategis tersebut.
Disamping itu, Stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu kaum gereja, kaum bangsawan, dan rakyat jelata. Meskipun merupakan mayoritas dalam masyarakat, kelompok terakhir ini menempati kelas yang paling rendah. Kehidupan mereka sangat tertindas dan terhina, mereka harus tunduk kepada para tuan tanah yang sering bertindak semena-mena dan dibebani berbagai pajak serta sejumlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, ketika merka dimobilisasi oleh pihak-pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan di berikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik apabila perang dapat dimenangkan, mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan melibatkan diri dalam perang itu.

C.     Periode Perang Salib
1.      Periode Pertama
Periode ini disebut periode penaklukan (1095 M - 1144 M). Pada musim semi tahun 1095 M. 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju konstantinopel,  kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang di pimpin oleh Godfrey dan Bohemond, dan Reymond ini memperoleh kemenangan besar pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (edessa). Disini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai Raja. Pada tahun yang sama mereka adapat menguasai Antiochea dan mendirikam Kerajaan Latin II di timur, dan Bohemond di lantik sebagai Rajanya. Mereka juga berhasil juga menduduki Al-Maqdis (15 Juni 1099 M) mendirikan Kerajaan Latin III dengan Rajanya Godfrey setelah menahklukkan Baitul Maqdis itu, tentara salib menlanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M ). Tripolli (1109 M ) dan kota Tyre (1124 M ). Di Tripolli mereka mendirikan Kerajaan latin IV, Rajanya adalah Raymond.[4]
2.      Periode Kedua
Periode ini disebut periode reaksi umat Islam (1144 M-1192 M). Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Allepo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh putranya, Nuruddin Zanki. Nuruddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
      Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang di sambut positif oleh Raja Perancis Louis VII dan Raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Nuruddin wafat 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin Al-Ayyubi yang berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
      Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara Salib. Merekapun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara Salib di pimpin oleh Frederick Barbarossa, Raja Jerman, Richard the Lion Hart, Raja Inggris, dan Philip Augustus, Raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapatkan tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan Ibu Kota Kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 November 1192 M, di buat perjanjian antara tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh Ar-Ramlah. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan di ganggu.

3.      Periode Ketiga
Periode yang berlangsung sejak 1193 M-1291 M ini dikenal dengan periode perang saudara kecil—kecilan atau periode kehancuran didalam pasukan Salib Hal ini karna periode  ini lebih disemangati oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan ketimbang motivasi agama. Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh Raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibti. Pada tahun 1291 M, mereka berhasil menduduki kota Dimyat. Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, Al-Malikul Kamil, membuat perjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, Sementara Al-Malikul Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun1247 M, di masa pemerintahan Malik Ash Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir di kuasai Dinasti Mamalik yang menggantikan Dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M.
Demikianlah perang Salib yang berkorban di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol sampai umat Islam terusir dari sana. Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah bela. Banyak Dinasti kecilyang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Bagdad.


[1]  Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Granfindo: 1998). Hlm. 76.
[2] Samsul Munir Amir, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta:Amzah:2010). Hlm. 232.
[3] Ibid., hlm. 234-235.
[4] Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada: 2003). Hlm. 77.cet,ke-15.

Makalah Pernikahan ( Fikih Munakahat)



DAFTAR ISI


DAFTAR ISI ..................................................................................................1
BAB I         PENDAHULUAN ....................................................................2
                   A. Latar Belakang ........................................................................2
                   B. Rumusan Masalah ....................................................................3
                   C. Tujuan Penelitian .....................................................................3
BAB II       PEMBAHASAN .......................................................................4
                   A. Pengertian Pernikahan ...........................................................4
                   B. Sikap Islam Terhadap Pernikahan ...........................................6
                   C . Hukum Menikah ..................................................................7
                   D . Tujuan Pernikahan .................................................................7
                   E . Prinsip-Prinsip Pernikahan ...................................................8
                   F . Hikmah Pernikahan ................................................................9
BAB III      PENUTUP ....................................................................................11
                   Kesimpulan ...............................................................................11
                   Daftar Pustaka ...........................................................................13


“Cobalah dulu, baru cerita. Pahamilah dulu, baru menjawab. Dengarlah dulu, baru memberi penilaian.”
“Jangan lihat siapa yang berbicara, namun dengarkan apa yang mereka bicarakan.”

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
      Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan dari orang lain dalam memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain.
      Allah menjadikan manusia makhluk yang paling mulia oleh-Nya menjadi sama seperti makhluk-makhluknya-Nya yang lain, yang menyalurkan syahwat (hasrat seksual)-nya dalam hubungan antara kedua jenis kelamin laki-laki dan prempuan secara bebas bebasnya tanpa batas dan tanpa aturan, tetapi ditetapkanlah bagi manusia aturan main yang aman dan yang sempurna, yang menjaga kemuliaannya dan memelihara kehormatannya. Yaitu dalam sebuah lembaga yang dikenal sebagai “pernikahan” dan yang dalam agama Islam, bahkan dalam semua agama samawi, dijadikan sebagai satu-satunya cara penyaluran yang sah dan diridhai Allah Swt.
      Pernikahan merupakan sunnah nabi, yaitu mencontohkan tindak laku Nabi Muhammad S.A.W. Oleh karena itu bagi pengikut Nabi Muhammad S.A.W. yang baik maka mereka harus melakukan pernikahan. Selain mencontoh tindak laku Nabi Muhammad, pernikahan merupakan juga kehendak manusia, kebutuhan rohani dan kebutuhan jasmani. Oleh karena itu makalah ini disusun untuk membahas mengenai berbagai hal yang terkait dengan pernikahan.  






B. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pernikahan atau perkawinan ?
2.      Bagaimana sikap Islam terhadap pernikahan ?
3.      Bagaimana hukum menikah ?
4.      Apakah tujuan dari pernikahan ?
5.      Bagaimana prinsip – prinsip pernikahan ?
6.      Apa hikmah atau manfaat pernikahan ?

C. Tujuan Penelitian
1.      Agar mahasiswa dapat memahami pengertian pernikahan
2.      Agar mahasiswa dapat mengetahui sikap Islam terhadap pernikahan
3.      Agar mahasiswa dapat mengetahui hukum menikah
4.      Agar mahasiswa dapat mengetahui tujuan perenikahan
5.      Agar mahasiswa dapat mengetahui prinsip – prinsip pernikahan
6.      Agar mahasiswa dapat mengetahui hikmah pernikahan











BAB II
PEMBAHASAN
A. Pernikahan.
            Kata pernikahan, berasal dari bahasa Arab al-nikah, yang berarti ’pengumpulan’. Terkadang juga disebut dengan ‘ibarat ‘an al-wath’ wa al-aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Kata lain yang biasa digunakan untuk pernikah ialah zawaj/zuwaj  yang berarti perkawinan.
            Adapun dalam hukum syariat, pernikahan adalah suatu ikatan lahir antara dua orang, laki-laki dan prempuan, untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam.[1]
Menurut Sajuti Thalib, Pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secarah sah antara seorang laki-laki dengan seorang prempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.[2]
            Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai:
            “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga, yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
            Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah,
            “Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah”.
Dapat di simpulkan bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagian hidup dan membangun keluarga.[3]
pernikahan1.jpg
Dalil  Nikah[4]
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan atau dianjurkan oleh syara’,berikut beberapa dalil-dalil nikah:
·         Firman Allah s.w.t. dalam Surat An-Nisa , ayat 3 yang artinya:
“.....Maka kawinilah prempuan-prempuan yang kamu sukai, dua, tiga, dan empat tetapi kalau kamu kuatir tidak dapat berlaku adil (antara prempuan-prempuan itu), hendaklah satu saja ....”
·         Firman Allah s.w.t. dalam Surat An-Nur , ayat 32 yang artinya:
            “Dan kawinilah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan hamba sahaya laki-laki dan prempuan yang patut.......!”.

·         Dalam sebuah hadis Rasulullah s.a.w bersabda yang artinya:
Dari Abdullah bin Mas’ud ra. Ia berkata : Rasulullah s.a.w bersabda kepada kami : “Hai kaum pemuda , apa bila di antara kamu kuasa untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan; dan barang siapa tidak kuasa hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya”.
·         Dalam hadis lain dinyatakan, yang artinya :
Dari anas bin Malik ra., bahwasanya Nabi S.A.W. memuji Allah dan menyanjung-Nya beliau berkata : “Akan tetapi aku shalat, aku yang tidak suka dengan perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”.

B. Sikap Islam Terhadap Pernikahan
Dalam Al-Qur’an bahwa hidup berpasang-pasang, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segalah makhluk Allah, termasuk manusia, sebagaimana firman-Nya dalam surat Az-Zariyat ayat 49 :
 “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT”[5]
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya.
Dari sudut pandang agama Islam pernikahan merupakan sesuatu yang suci dan sakral. Pernikahan juga merupakan langkah awal untuk membentuk keluarga sebagai asas masyarakat.[6]
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud aturan-aturan yang disebut hukum perkawinan dalam hukum Islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat baik secara perseorangan maupun secara bermasyaraka baik untuk hidup didunia maupun diakhirat.
Islam mengajarkan orang berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui keluarga yang baik, seperti dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi S.A.W.
Riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas :
“Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantarmu untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu dapat mengurangi pandangan (yang liar) dan lebih menjaga kehormatan.
C. Hukum Menikah
1.      Wajib. Pernikahan menjadi wajib bagi yang memiliki cukup kemampuan untuk melakukannya (secara finansial dan fisikal atau cukup nafkah sandang pangan), dan sangat kuat keinginannya untuk menyalurkan hasrat seksual dalam dirinya, sementara ia khawatir terjerumus dalam perzinaan apabila tidak menikah.[7]
2.      Sunnah (Mustahab atau Dianjurkan), Bagi orang yang berkehendak serta cukup nafkah sandang pangan dan lain-lainnya.
3.      Haram. Pernikahan menjadi haram bagi siapa yang mengetahui dirinya tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajibannya sebagai suami , baik dalam hal nafkah lahiriah (yang bersifat finansial) maupun nafkah batiniah (yakni kemampuan melakukan hubungan seksual) yang wajib diberikan kepada istri. Haram juga bagi orang yang berniat akan menyakiti prempuan yang dinikahi.
4.      Makruh. Pernikahan menjadi makruh bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.[8]
5.      Mubah. Pernikahan menjadi mubah(yakni bersifat netral,boleh dikerjakan juga boleh ditinggalkan) apabila tidak ada dorongan atau hambatan untuk melakukannya ataupun meninggalkannya,sesuai dengan pandangan syariat.
D. Tujuan Pernikahan atau perkawinan
Tujuan merupakan langkah pertama dalam membuat perencanaan sehingga dalam pelaksanaannya nanti terarah sesuai dengan hasil yang ingin dicapai, pernikahanpun mempunyai tujuan diantaranya sebagai berikut:
1.      Dari sisi hukum, pernikahan bukan hanya sekedar untuk keabsahan melakukan persetubuhan, tetapi lebih jauh dari itu bertujuan untuk mencapai sesuatu yang lebih luhur karena memang pernikahan itu di pandang sebagai persetujuan perikatan atau kontrak.
2.      Secara sosial, pernikahan itu sendiri berhasil mengangkat derajat seseorang ke tingkat yang lebih tinggi di masyarakat dibanding dengan kondisinya sebelum melangsungkan perkawinan.
3.      Pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah(tentram cinta), dan rahmah(kasih sayang).[9]
4.      Pernikahan bertujuan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah serta mengikuti sunnah Nabi Muhammad S.A.W..
5.      Agar setiap manusia baik laki-laki atau prempuan dapat memperoleh kebahagian menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Ilahi.
6.      Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.[10]
keluarga bahagia.jpg  keluarga bahagia6.jpg
E. Prinsip – Prinsip pernikahan
            Prinsip merupakan petunjuk arah layaknya kompas. Sebagai petunjuk arah, kita bisa berpegangan pada prinsip-prinsip yang telah disusun dalam menjalani hidup tanpa harus kebingunan arah karena prinsip bisa memberikan arah dan tujuan yang jelas pada setiap kehidupan kita. Begitu pula dengan pernikahan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan pernikahan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan pernikahan atau tidak.
2.      Sahnya pernikahan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.[11]
3.      Tujuan pernikahan antara lain untuk dapat berketurunan (regenerasi) dan untuk ketentraman, ketenangan, dan cinta kasih. Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa pernikahan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja.
4.      Menghindari kekerasan baik dari segi fisik maupun psikis (rohani). Maksud dari terhindar dari kekerasan fiik dalam kehidupan rumah tangga adalah, bahwa jangan sampai ada pihak dalam keluarga yang merasa berhak memukul atau melakukan tindak kekerasan lain dalam bentuk apapun, dengan dalih atau alasan apapun.
5.      Adanya kehidupan yang serba musyawarah dan demokrasi dalam kehidupan rumah tangga berarti bahwa dalam segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan hasil musyawarah minimal antara suami dan isteri, kalau dibutuhkan, juga melibatkan seluruh anggota kluarga, suami, isteri, dan anak-anak. Adapun maksud demokrasi adalah bahwa antara suami dan isteri harus saling terbuka untuk menerima pandangan dan pendapat pasangan.
6.      Asas Monogami yaitu cara pernikahan tunggal pernikahan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan saja.
7.      Calon suami dan istri harus lebih dewasa jiwa dan raganya. Menentukan batas umur untuk nikah baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
8.      Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
F. Hikmah Pernikahan[12]
1.      Untuk menyalurkan hasrat seksual manusia yang terus-menerus menuntut dan mendorong agar di penuhi, sehingga dengan menikah mencegah perbuatan yang menjerumuskan perzinaan.
2.      Pernikahan adalah cari paling utama bahkan satu-satunya cara yang diridhai Allah dan Rasul-Nya untuk memperoleh keturunan dan menjaga kesinambungan jenis manusia, seraya memelihara silsilah keturunan yang diperhatikan oleh agama.
3.      Pernikahan menumbuhkan rasa tanggung jawab antara suami istri dalam pengelolaan rumah tangga, serta dalam pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam mengupayakan keluarga dan pemeliharaan anak-anak.
4.      Pernikahan mempererat hubungan antara keluarga suami dan keluarga istri, dan mempererat hubungan kasih sayang serta menjalin persaudaraan antaranggota masyarakat yang sebelumnya tidak, atau belum, saling mengenal.
5.      Mematangkan kepribadian dan kedewasaan.
6.      Adanya ketenangan jiwa.
7.      Memiliki teman setia sebagai teman curhat,  motivator dan pembimbing.
8.      Adanya keringanan beban hidup.

40020_418886961267_301729376267_5346131_883619_n.jpg







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Pernikahan adalah sebuah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagian hidup dan membangun keluarga.
Dari sudut pandang agama Islam pernikahan merupakan sesuatu yang suci dan sakral. Pernikahan juga merupakan langkah awal untuk membentuk keluarga sebagai asas masyarakat
Hukum Menikah ada lima, yaitu :
1.      Wajib. Pernikahan menjadi wajib bagi yang memiliki cukup kemampuan untuk melakukannya (secara finansial dan fisikal atau cukup nafkah sandang pangan).
2.      Sunnah (Mustahab atau Dianjurkan), Bagi orang yang berkehendak serta cukup nafkah sandang pangan dan lain-lainnya.
3.      Haram. Pernikahan menjadi haram bagi siapa yang mengetahui dirinya tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajibannya.
4.      Makruh. Pernikahan menjadi makruh bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
5.      Mubah. Pernikahan menjadi mubah(yakni bersifat netral,boleh dikerjakan juga boleh ditinggalkan).
Hikmah Pernikahan
1.      Untuk menyalurkan hasrat seksual manusia yang terus-menerus menuntut dan mendorong agar di penuhi, sehingga dengan menikah mencegah perbuatan yang menjerumuskan perzinaan.
2.      Pernikahan adalah cari paling utama bahkan satu-satunya cara yang diridhai Allah dan Rasul-Nya untuk memperoleh keturunan dan menjaga kesinambungan jenis manusia, seraya memelihara silsilah keturunan yang diperhatikan oleh agama.
3.      Pernikahan menumbuhkan rasa tanggung jawab antara suami istri dalam pengelolaan rumah tangga, serta dalam pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam mengupayakan keluarga dan pemeliharaan anak-anak.
4.      Pernikahan mempererat hubungan antara keluarga suami dan keluarga istri, dan mempererat hubungan kasih sayang serta menjalin persaudaraan antaranggota masyarakat yang sebelumnya tidak, atau belum, saling mengenal.
5.      Mematangkan kepribadian dan kedewasaan.
6.      Adanya ketenangan jiwa.
7.      Memiliki teman setia sebagai teman curhat,  motivator dan pembimbing.
8.      Adanya keringanan beban hidup.


















DAFTAR PUSTAKA

Al-Habsy, Muhammad Bagir. 2002. Fiqih Praktis. Bandung : Mizan.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Taringan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana.
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Bnadung : Sinar Baru Algensindo.
Rifa’i, Mohammad. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang : Toha Putra.
Sosroatmodjo, Arso dan A.Wasit Aulawi. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang.












[1] Mohammad Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang:Toha Putra:1978), hlm. 453.
[2] Amir Nurruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum perdata Iskam di Indonesia, (Jakarta:Kencana:2004), hlm. 40.
[3] Ibid., hlm. 42.
[4] Ibid., hlm. 454.
[5] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung:Mizan:2002), hlm. 1.
[6]Amir Nurruddin dan Azhari Akmal Taringan, op.cit., hlm. 57.
[7] Muhammad Bagir Al-Habsyi, op.cit., hlm. 4.
[8] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung:Sinar Baru Algesindo:2012), hlm. 382.
[9] Amir Nurruddin dan Azhari Akmal Taringan, loc.cit.
[10]Asro Sostroadmojo dan A.Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia , (Jakarta:Bulan Bintang:1975), hlm. 47.
[11] Amir Nurruddin dan Azhari Akmal Taringan, op.cit., hlm.54.
[12] Muhammad Bagir Al-Habsyi, op.cit., hlm. 2.