Sabtu, 05 April 2014

Perang Salib



BAB II
PEMBAHASAN

1        . PERANG SALIB

A.    Timbulnya Perang Salib.
Perang Salib awalnya disebabkan adanya persaingan pengaruh antara Islam dan Kristen. Penguasa Islam Alp Arselan yang memimpin gerakan ekspansi yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Manzikarat” pada tahun 464 H (1071 M) Menjadikan orang-orang Romawi terdesak. Terntara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang yang terdiri tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Prancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk dapat merebut Baitul Maqdis tahun 471 H dari kekuasaan Dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Saljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan ini dirasakan sangat menyulitkan mereka.[1]
Oleh karena itu, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa agar melekukan perang suci. Perang ini kemudian di kenal dengan nama Perang Salib karena pasukan Kristen dalam berperang mengenakan tanda Salib pada pakain yang dikenakannya sebagai lambang.[2]

B.     Sebab-Sebab Perang Salib[3]
Ada beberapa faktor yang memicu terjadin Perang Salib. Adapun yang menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya Perang Salib ada tiga hal, yakni agama, politik, dan sosial ekonomi.
1.      Faktor agama
Sejak Dinasti Saljuk merebut Baitul Maqdis dari tangan Dinasti Fathimiyah pada tahun 1070 M, pihak Kristen merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah ke sana karena penguasa Saljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulitkan mereka yang hendak melaksanakan ibadah ke Baitul Maqdis. Bahkan mereka yang pulang berziarah sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang Saljuk yang fanatik. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Saljuk sangat berbeda dari penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu sebelumnya.
2.      Faktor Politik
Kekalahan Binzantium sejak tahun 330 M disebut Konstantinopel (Istambul) di Manzikart, wilayah Armenia, pada tahun 1071 M dan jatuhnya Asia Kecil ke bawah kekuasan Saljuk telah mendorong Kaisar Alexius I Comnenus ( Kaisar Konstantinopel) untuk meminta bantuan Paus Urbanus II (1035-1099) yang menjadi Paus antara tahun 1088-1099 M, dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannnya di daerah pendudukan Dinasti Saljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu Bizantium karena adanya janji Kaisar Alexius untuk di bawah kekuasaan Paus di Roma dan harapan untuk dapat mempersatukan  gereja Yunani dan Roma.
Di lain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang melemah sehingga orang Kristen di Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam Perang Salib, Ketika itu Dinasti Saljuk di Asia Kecil sedang mengalami perpecahan, dan Dinasti Fathimiyah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara keadaan Islam di Spanyol semakin goyah. Situasi semakin bertambah parah karena adanya pertentangan segitiga antara Khalifa Fathimiyah di Mesir, Khalifa Abbasiyah di Bagdad, dan Amir Umayyah di Cordova yang memproklamasikan dirinya sebagai Khalifa. Situasi yang demikian mendorong para penguasa Kristen di Eropa untuk merebut satu persatu daerah kekuasaan Islam, seperti dinasti kecil di Edessa dan Baitul Maqdis.
3.      Faktor Sosial Ekonomi
Para pedagang besar yang berada di kota Venesia, Genoa, dan Pisa, berambisi untuk mengasai sejumlah kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang. Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu di mungkinkan karena jalur Eropa akan tersambung dengan rute perdagangan di Timur melaui jalur strategis tersebut.
Disamping itu, Stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu kaum gereja, kaum bangsawan, dan rakyat jelata. Meskipun merupakan mayoritas dalam masyarakat, kelompok terakhir ini menempati kelas yang paling rendah. Kehidupan mereka sangat tertindas dan terhina, mereka harus tunduk kepada para tuan tanah yang sering bertindak semena-mena dan dibebani berbagai pajak serta sejumlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, ketika merka dimobilisasi oleh pihak-pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan di berikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik apabila perang dapat dimenangkan, mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan melibatkan diri dalam perang itu.

C.     Periode Perang Salib
1.      Periode Pertama
Periode ini disebut periode penaklukan (1095 M - 1144 M). Pada musim semi tahun 1095 M. 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju konstantinopel,  kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang di pimpin oleh Godfrey dan Bohemond, dan Reymond ini memperoleh kemenangan besar pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (edessa). Disini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai Raja. Pada tahun yang sama mereka adapat menguasai Antiochea dan mendirikam Kerajaan Latin II di timur, dan Bohemond di lantik sebagai Rajanya. Mereka juga berhasil juga menduduki Al-Maqdis (15 Juni 1099 M) mendirikan Kerajaan Latin III dengan Rajanya Godfrey setelah menahklukkan Baitul Maqdis itu, tentara salib menlanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M ). Tripolli (1109 M ) dan kota Tyre (1124 M ). Di Tripolli mereka mendirikan Kerajaan latin IV, Rajanya adalah Raymond.[4]
2.      Periode Kedua
Periode ini disebut periode reaksi umat Islam (1144 M-1192 M). Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Allepo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh putranya, Nuruddin Zanki. Nuruddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
      Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang di sambut positif oleh Raja Perancis Louis VII dan Raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Nuruddin wafat 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin Al-Ayyubi yang berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
      Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara Salib. Merekapun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara Salib di pimpin oleh Frederick Barbarossa, Raja Jerman, Richard the Lion Hart, Raja Inggris, dan Philip Augustus, Raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapatkan tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan Ibu Kota Kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 November 1192 M, di buat perjanjian antara tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh Ar-Ramlah. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan di ganggu.

3.      Periode Ketiga
Periode yang berlangsung sejak 1193 M-1291 M ini dikenal dengan periode perang saudara kecil—kecilan atau periode kehancuran didalam pasukan Salib Hal ini karna periode  ini lebih disemangati oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan ketimbang motivasi agama. Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh Raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibti. Pada tahun 1291 M, mereka berhasil menduduki kota Dimyat. Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, Al-Malikul Kamil, membuat perjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, Sementara Al-Malikul Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun1247 M, di masa pemerintahan Malik Ash Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir di kuasai Dinasti Mamalik yang menggantikan Dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M.
Demikianlah perang Salib yang berkorban di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol sampai umat Islam terusir dari sana. Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah bela. Banyak Dinasti kecilyang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Bagdad.


[1]  Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Granfindo: 1998). Hlm. 76.
[2] Samsul Munir Amir, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta:Amzah:2010). Hlm. 232.
[3] Ibid., hlm. 234-235.
[4] Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada: 2003). Hlm. 77.cet,ke-15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar